Back to top

Paradoks Pendidikan dan Dunia Kerja



Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia tergolong rendah kualitasnya sehingga dunia usaha dan industri menghadapi kesulitan untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu cepat. Investor baru dari luar atau dalam negeri yang membawa teknologi khusus menghadapi kesulitan yang serius mencari tenaga kerja yang baik di Indonesia karena ketersediaan tenaga kerja berketerampilan sangat terbatas.

Lulusan dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri. Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan ketrampilan masih sangat sedikit.

Jadi di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang. Pada level menengah dan atas terjadi labor shortage atau kekurangan ketrampilan dan keahlian tingkat menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah dan tinggi banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi pasokannya kurang. 

Sementara itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya. Perhatikan jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan tenaga kerja tidak trampil sangat besar jumlahnya.

Mengapa terjadi labor shortage di level atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga kerja yang berketrampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan laboratorium yang rumit. Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan dan ketrampilannya.

Dan yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat pembangunan secara umum (mismatch).

Dunia industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi.

Kondisi inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China, kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi. Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.

Kekuatan ekonomi nasional hanya bertumpu pada produksi bahan mentah dan bahan setengah jadi, yang hanya mengeksploitasi sumberdaya alam. Penerimaan devisa juga berasal dari ekspor bahan mentah tersebut. Ini terjadi karena SDM di Indonesia secara umum masih kurang memadai.

Pada level bawah terjadi apa yang disebut labor surplus atau kelebihan tenaga kerja tidak terampil. Hampir separuh dari SDM pekerja secara nasional sangat tidak berketerampilan karena golongan ini cuma lulusan SD ke bawah. Apa yang bisa diperbuat oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah seperti ini? Tentu dengan pendidikan seperti ini kualitasnya sangat rendah dan jauh dari memadai sehingga tidak bisa mendukung industrialisasi secara masif. 

Bahkan banyak investasi asing yang akan masuk masuk sektor industri merasa tidak layak karena dukungan kualitas tenaga kerjanya yang rendah. Industrialisasi menghadapi tantangan pada keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, selain pada aspek kebijakan industri itu sendiri.

Inilah tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan ketrampilan kurang memadai (labor surplus). Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana permintaan tenaga berkerampilan di level atas kurang pasokannya.

Sistem pendidikan kita selama 3-4 dekade masih belum berhasil mengentaskan golongan bawah sampai ke jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bahkan sampai hampir dua dekade anggaran pendidikan ditingkatkan ekstrem sampai 20 persen, tetap saja saja banyak golongan bawah yang berhenti sampai tingkat sekolah dasar saja. Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di bidangnya.

Baru-baru ini pendidikan vokasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian presiden. Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat lulusannya dengan ketrampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja, khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.

Presiden sudah mengajak dunia usaha dan BUMN untuk mengembangkan dan membangun pendidikan vokasi agar pasokan tenaga kerja berketrampilan semakin banyak. Tetapi dalam pandangan saya kebijakan ini masih bersifat wacana karena rencana kebijakan seperti ini belum diikuti oleh suatu gerakan yang bersifat kolektif bersama dunia usaha, BUMN dan pemerintah daerah. Sebagai tidak lanjut arahan dan anjuran presiden juga belum terlihat mobilisasi dana, sumberdaya kebijakan, sumberdaya birokrasi, teknologi dan lainnya. Juga tidak terlihat ada kebijakan komprehensif dan birokrasi mana yang bertanggung jawab untuk hal ini.

Sebagai perbandingan, lihat dan pelajari kebijakan pangan di masa lalu. Sumberdaya kebijakannya jelas. Yang bertanggung jawab pasokan pupuk adalah Departemen Perindustrian yang harus membangun pabrik-pabrik pupuk melalui BUMN (Pusri, Pupuk Kaltim, Petro Kimia Gresik, dll). Jaringan irigasi dibuat oleh Departemen PU, benih dan penyuluh dikerjakan oleh Departemen Pertanian. 

Anatomi sistem kebijakan seperti contoh di atas jelas. Tetapi kebijakan pendidikan vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik. Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut.

Sumber: news.detik.com




Share on Facebook
Tweet on Twitter

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.