Back to top

Senja Emas Sang Kakek dengan Jaringan 1000 Agen dan 87 Mitra


Kisah sukses Bapak H.M. Kurnia di usia senja memang benar-benar dimulai dari kata tidak; tidak punya pengalaman, tidak punya modal, tidak punya pengetahuan. Lalu, seperti apa cerita sukses pemilik 3 brand dengan 1000-an Agen dan 87 Mitra ini?

Tidak ada batasan maksimal untuk memulai bisnis. Siapapun tanpa mengenal gender, usia, dan latar belakang, bisa menjadi seorang pengusaha dan bahkan meraih kesuksesan atas pilihannya tersebut. Tengok kisah sukses Muhammad Kurnia, kakek yang saat berusia kurang lebih 57 tahun yang membuktikan jika usia senja bukanlah penghalangnya merajut kesuksesan menjadi entrepreneur. Pria yang akrab disapa Kurnia ini mendirikan bisnis Shasmira di usia genap ke-50 tahun.

Sebelum berbisnis, hampir separuh lebih perjalanan hidup Kurnia dihabiskannya dengan berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, sebagai seorang karyawan. Pilihan dunia fashion sebagai core bisnisnya pun boleh dibilang sangat jauh dari pengalamannya. Umumnya, beberapa pebisnis yang sebelumnya hidup di dunia kerja umumnya akan memilih jenis bisnis yang tidak jauh dari pengalaman kerjanya, namun berbeda dengan Kurnia.

Rekam jejak karir Kurnia sangat beragam. Ia memulai petualangannya dengan bekerja di sebuah perusahaan asuransi selama 11 tahun. Setelahnya, ia merajut asa di perusahaan pharmasi dan property, masing-masing berjalan selama tiga tahun. Dan terakhir, ia menuntaskan karir kepegawaiannya selama 15 tahun di perusahaan transportasi.

Dengan rekam jejak tersebut, bukankah lebih baik jika Kurnia memilih core bisnis yang tidak jauh dari pengalamannya? Akan tetapi, ia lebih memilih dunia konveksi. Dunia yang bertolak belakang dengan pengalaman kerjanya.

Di pertengahan tahun 2009 silam, Kurnia memutuskan untuk pindah kuadran menjadi pebisnis konveksi. Niatnya berawal dari sebuah fakta jika di usia senjanya dan di masa pensiunnya, perusahaan tempat terakhirnya bekerja tidak memiliki kebijakan dana pensiun untuk seluruh karyawannya. Alhasil, mau tidak mau Kurnia pun memutar otaknya.

“Saya tidak ingin membebankan kehidupan kepada siapapun, termasuk anak-anak. Meski disisi lain saya menyadari, sudah tidak memungkinkan lagi jika saya harus menguras keringat sebagai karyawan seperti dulu. Pilihannya hanya tinggal menjadi wirausaha,” tukas Kurnia.

Tentu saja pilihannya ke dunia jahit-menjahit bukan tanpa alasan. Di saat dirinya diliputi kegalauan seperti apa bisnis yang akan dipilihnya, secara kebetulan ia mendapatkan ide dari sang istri yang memang sejak lama mengenakan busana muslim. Kurnia yang hanya menamatkan pendidikan di jenjang SLTA ini kemudian mendapatkan ide, kenapa tidak berbisnis busana muslim saja? Secara hitung-hitungan ia sangat yakin pasti prospek dengan mayoritas penduduk negeri ini yang beragama islam sebagai target marketnya.

Meski Kurnia sangat menyadari jika dunia barunya tersebut akan sangat berat. Apalagi, lagi-lagi dia belum memiliki pengalaman sama sekali. Namun, baginya tidak ada pilihan lain yang cukup logis selain memilih dunia entrepreneur.

Kurnia menggunakan modal hasil pinjaman koperasi senilai Rp 40 juta untuk mengawali bisnisnya. “Bekal pinjaman koperasi itu kemudian dialokasikan untuk pembelian bahan baku awal, mesin jahit, dan biaya operasional lainnya. Saya lalu merekrut dua orang tenaga kerja plus sang istri yang kebetulan mahir membuat pola dan menjahit. Saya sendiri, bertugas memasarkan produknya dan tugas lapangan lainnya,” ungkap Kurnia.

Semangat juang yang dimiliki Kurnia memang luar biasa. Ketabahan juga bagian yang tidak terpisahkan darinya. Apalagi,tentu saja tidak semua orang menerima dan merespon produk yang ditawarkan Kurnia. Meski berat, tidak pernah terlintas di benaknya untuk mundur dan menyerah. Bahkan, haram baginya berpikir bisnis ini akan gagal. Ibarat sebuah pepatah ‘terlanjur basah, yasudah mandi sekali’.

Berulangkali ia menguatkan hatinya untuk menekuni usaha ini. Kemudian juga harus fokus, sungguh-sungguh dan tentu saja bahwa semua yang dikerjakan tidak terlepas dari bantuan Yang Maha Kuasa. Sekeras apapun, kalau Dia tidak berkehendak tidak akan jadi apapun. Kerja keras dan doa itu mutlak.

Alhasil, motivasi hal tersebutlah yang membuat energy positif senantiasa menaungi Kurnia. Apalagi, sang istri juga tidak pernah bosan menjadi motivator ulung bagi Kurnia. Seperti terbangun dari tidur panjang, Kurnia lalu giat memasarkan kerudung-kerudung yang dibuatnya ke pusat-pusat fashion seperti Pasar Baru maupun Tanah Abang. Kemudian dari sanalah muncul pre order yang minta dibuatkan ini dan itu, model seperti ini dan itu. Kurnia juga mulai pede menawarkan ke perusahan-perusahaan yang sudah cukup terkenal.

Akan tetapi, beberapa waktu kemudian konsep pre order-nya tersebut malah menjadi boomerang bagi dirinya.Pasalnya, konsep pre order memerlukan modal yang tidak sedikit sebagai investasi awalnya, sebelum sang klien membayarnya ketika produk diterima. Namun,  tidak semulus itu. Beberapa diantaranya malah menggunakan tempo hingga 3 bulan lamanya sejak barang diterima. Itupun kalau giro tersebut “terisi”. Sebab, tidak jarang ketika Kurnia ingin menarik uangnya, ternyata giro yang diberikan kepadanya masih kosong.

Beranjak ke tahun berikutnya, mulai ada secercah harapan dari kerja keras Kurnia. Di tahun keduanya ini, ia mulai merubah strategy dan konsep bisnis. Di mana ia juga menemukan pola bisnisnya, vendor kain, cara menjahit yang benar, marketing baik, beriklan dan lain sebagainya. Di tahun ini pulalah Kurnia mulai menyematkan merek “Shasmira” di setiap produk buatannya.

Secara konsep, Kurnia sudah meninggalkan pre order. Ia menganggap satu tahun pertama, yang nihil margin, sebagai ongkos belajar. Ia mengibaratkan sebagai biaya kuliah saja selama satu tahun.

Kurnia kemudian merubah model bisnisnya, secara tidak sengaja ia melihat peluang untuk mengagenkan produknya, melihat mulai banyaknya permintaan pasar. Perpindahan konsep ini sama sekali tidak disesali oleh Kurnia. Perbedaan yang paling mencolok ada pada permodalan. Sekarang, ia bisa leluasa menciptakan inovasi terbaru, menambah jumlah SDM, mesin dan lain sebagainya, dengan modal yang diberikan para agen ketika akan memesan produk kepadanya.

Perkembangan mulai dirasakan Kurnia menginjak tahun 2011-2012. Memang jalannya tidak spektakuler, tapi bertahap dan stabil.Dengan konsep keagenan yang mulai ditawarkan kurnia, merek Shasmira semakin meroket.

Setelah keagenan berkembang, muncul permintaan untuk membuat showroom. Kurnia tidak langsung menjawab banyak keinginan konsumennya tersebut. Meski ia mempercayai ini adalah sebuah masukan yang positif dan mungkin menjadi jalan kesuksesannya kelak. Sebab, untuk mendirikan showroom itu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Dengan kata lain,ia juga masih terkendala permodalan.

Tidak lantas mengabaikan masukan tersebut, Kurnia mulai berpikir keras hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuka peluang kerjasama showroom dengan konsep kemitraan atau franchise.  

Keputusan Kurnia baik merubah role model-nya dari pre order ke keagenan dan meningkat menjadi kemitraan atau franchise dengan konsep showroom terbukti tepat. Kini dalam perjalanannya, ia telah mengoleksi 1000-an lebih agen dan 7 showroom milik sendiri serta kurang lebih 80-an showroom yang dimiliki mitra-mitranya.

Bahkan, ayah dari lima orang putera dan puteri ini telah melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka dua showroom di Thailand dan beberapa distributor yang tersebar di beberapa Negara seperti Singapure, Malaysia, dan Brunai. Ia juga menciptakan dua merek baru yakni Hazna dan Rozak.

Sumber Artikel: 

http://www.franchiseglobal.com/senja-emas-sang-kakek-dengan-jaringan-1000-agen-dan-87-mitra.phtml 

Dimuat di website Franchiseglobal.com pada tgl. 18 April 2016



Share on Facebook
Tweet on Twitter

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.